Di berbagai media bertebaran ekses dari pilkades (pilkada, pemilukada, pilbup, pilgub, pileg, dan pilpres). Di Berbagai tempat terkuak fakta sisi lain dari pilkades. Kegembiraan pemenang. Sorak sorai pendukung. Sujud syukur tim sukses bercampur baur dengan keterpurukan dan kesedihan yang kalah. Kemurungan pecundang. Dan keberingasan pendukung. Ada yang bermain di koridor normatif. Menggugat pasal-pasal yang dilanggar. Mengadukan pelanggaran-pelanggaran lawan. Di tataran sinisme menyebar kelemahan-kelemahan seteru. Mengungkit masa lalu yang tak terkait. Di wilayah emosi: menghujat dan memfitnah. Memutuskan persahaban dan persaudaraan demi membela sebuah nomor. Terseruak melebar fanatisme. Menganga dalam kenyataan fanatisme jahiliyah. Kebodohan kemunduran kedhoifan dalam berfikir dan bertindak.
Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) telah berlangsung sejak lama. Pilkades dijadikan sokoguru dalam memilih langsung presiden, gubernur dan bupati/walikota. Pada saat ini memilih langsung pimpinan oleh rakyat menjadi kebanggaan tersendiri bangsa ini. Tapi ternyata memilih langsung pimpinan oleh rakyat bukan jaminan lahirnya kepemimpinan yang berkualitas. Pilkades yang dijadikan sokogurunya sudah berbeda. Pilkades sekarang dengan pilkades dulu pasti berbeda. Pilkades dulu diatur oleh aturan yang dibuat oleh Desa, semantara sekarang Pilkades diatur oleh aturan dari atasannya, aturan bupati, gubernur dan UU. Pilkades yang semula lugu sekarang menjadi beringas penuh intrik dan jurus licik.
Nyata: yang kalah kalap. Mengamuk dengan berbagai dalih. Bertindak anarkis. Tidak cukup mulut teriak tenggorokan kerontang. Tinju palu tendang lempar menjadi jurus utama. Tidak kena orangnya bendanya jadi sasaran. Yang diincar muka yang kena jendela kaca. Membabi buta bagai gajah kelaparan.
Fakta lain: Suami menyeraikan istrinya, karena sang istri berbeda pilihan dengan suaminya. Ada lagi seorang penggarap tanah yang diusir oleh tuan tanahnya karena berbeda pilihan. Ajengan di selatan membuat fatwa: Haram memilih no 9 sedangkan Ulama yang di utara membuat fatwa haram memilih kecuali no 9. Yang lebih parah adalah seorang dukun paraji dengan seorang ibu hamil,:
Dukun pariji: “ Dengekeun ku sia anjhig lamun sia teu nyolok no x ku aing moal diparijian…..”
Ibu Hamil: “ Paduli teuing teu diparajian ku sia oge…. boga duit mah aing rek ka bidan”
Astaghfirullohal ‘adhim. Kita yang mendengarnya beristighfar…. Sampai sejuah itu fanatisme warga terhadap apa yang mereka dukung, dalam hal ini kepala desa.
Betulkah pilkades melahirkan kades yang berkualitas?
Tidak benar bahwa pilkades menjadi jaminan lahirnya kades yang berkualitas. Sebab kualitas tidak bisa ditentukan dengan kuantitas. Sangat riskan untuk menerjemahkan keunggulan angka adalah sama dan sebangun dengan keunggulan kepemimpinan. Kades terpilih adalah calon kades yang paling banyak meraih coblosan terbanyak. Angka itulah yang mengantar dia menjadi nomor satu. Kualitas apa yang diukur dari sang kadesnya itu sendiri.
Gambarannya seperti ini: A, B, C ikut lomba lari. Pemenangnya adalah si B misalnya. Jelas itu menunjukkan bahwa si B yang paling cepat larinya. Jadi ada yang diukur dari si B, yaitu kecepatan, waktu. Bukan penonton yang memvoting atau panitia yang memilih. Kecepatan berlari adalah kualitas. Jumlah waktunya sendiri adalah kuantitas.
Dalam pilkades tidak ada yang diukur dari calon kadesnya itu sendiri. Adapun suara atau jumlah angka itu adalah perbuatan penonton kalau dalam contoh lomba lari tadi. Dalam pilkades yang menentukan adalah selera rakyat. Kalau rakyatnya suka mengemis, tentu pengemis lah yang akan jadi kadesnya. Jika rakyatnya suka mencuri tentu gembong maling yang akan menjadi kades. Jika rakyatnya doyan selingkus tentu …… dst.
Fakta lain: banyak Kades yang berubah watak. Watak baik sebelum menjadi kades ludes setelah semenit duduk di kursi kades. Jabatan telah mengubah watak. Pun demikian uang bisa mengubah sikap seseorang. Pendukung wajar kecewa jika kades yang mereka dukung ternyata berubah sikap. Sebelum menjadi kades idola masyarakat, eh setelah jadi kades malah disumpah serapah warga. Kenapa dipilih? Karena dulu sebelum jadi kades ia itu memang baik dan santun, namun sayang setelah menjadi kades mengapa jadi gerayangan sabet sana sabet sini uang pajak masuk saku dana bantuan jadi akuannya (miliknya). Tidak sedikit warga menyesal kareana telah memilihnya.
Atau jangan-jangan berubahan watak itu disebabkan sistem birokrasi dan pemerintahan yang tidak kondusif. Berbohong tidak bisa dielakkan, berdusta jadi biasa, memalsu tanda tangan bisa bisa saja, mengoleksi stempel toko ratusan di laci untuk melengkapi SPJ. Bisa jadi seperti itu, lingkungan tidak mendukung ke arah kebaikan. Seorang ajengan sampai minta maaf dan ampun berkali kali kepada warga karena ia menolak dicalonkan lagi menjadi kades kedua kalinya…… “Bukan tempat yang cocok untuk saya saat ini mah” ungkapnya.
Sumber: Desa Mandalawangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar