Apa yang disampaikan oleh Dr. Eggi
Sudjana SH MSi dalam talkshow di TV swasta malam itu sangat mengejutkan banyak
pihak. Beliau menyebutkan bahwa jika dicermati, ternyata justru negara
Indonesia ini secara hukum bukanlah berdasarkan Pancasila.
Pernyataan
itu muncul saat berdebat dengan Abdul Muqsith yang mewakili kalangan AKK-BB.
Saat itu Abdul Muqsith menyatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam, bukan
berdasarkan Al Qura’n dan Al Hadits, namun berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Mungkin
Abdul Muqsith ingin menegaskan bahwa Ahmadiyah boleh saja melakukan kegiatan
yang bertentangan dengan ajaran Islam, toh negara kita kan bukan negara Islam,
bukan berdasarkan Quran dan Hadits.
Tetapi tiba-tiba Mas
Eggi balik bertanya tentang siapa yang bilang bahwa dasar negara kita ini
Pancasila? Mana dasar hukumnya kita mengatakan itu?
Abdul Muqsith cukup bingung
diserang dengan pertanyaan seperti itu. Rupanya dia tidak siap ketika diminta
untuk menyebutkan dasar ungkapan bahwa negara kita ini berdasarkan Pancasila
dan UUD 45
Ketika itulah mas Eggi langsung menyebutkan bahwa yang adalah UUD 45 menyebutkan tentang dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan Pancasila. Sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 45 pasal 29 ayat 1.
Ketika itulah mas Eggi langsung menyebutkan bahwa yang adalah UUD 45 menyebutkan tentang dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan Pancasila. Sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 45 pasal 29 ayat 1.
Jika dipikir-pikir, ada benarnya
juga apa yang dikatakan oleh Eggi Sujana itu. Mana teks resmi yang menyebutkan
bahwa dasar negara kita ini Pancasila. Kita yang awam ini agak kaget juga
mendengar jawaban Eggi.
Entahlah apa ada ahli hukum lain
yang bisa menjawabnya. Yang jelas si Abdul Muasith itu hanya bisa diam saja,
tanpa bisa menjawab apa yang ditegaskan oleh Eggi Sujana.
Dan rasanya kita memang tidak atau
belum menemukan teks resmi yang menyebutkan bahwa dasar negara kita ini
Pancasila.
Diskusi itu menjadi menarik,
lantaran kita baru saja tersadar bahwa dasar negara kita menurut UUD 45
ternyata bukan Pancasila sebagaimana yang sering kita hafal selama ini sejak
SD. Pasal 29 UUD 45 ayat 1 memang menyebutkan begini:
1. Negara berdasar Atas Ketuhanan
yang Maha Esa
Lalu siapakah Tuhan yang dimaksud
dalam pasal tersebut, jawabannya menurut Eggi adalah Allah SWT. Karena di
pembukaan UUD 45 memang telah disebutkan secara tegas tentang kemerdekaan
Indonesia yang merupakan berkat rahmat Allah SWT.
Dalam argumentasi mas Eggi, yang
namanya batang tubuh dengan pembukaan tidak boleh terpisah-pisah atau
berlawanan. Jika dalam batang tubuh yaitu pasal 29 ayat 1 disebutkan bahwa
negara Indonesia berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Tuhan itu
bukan sekedar Maha Esa, juga bukan berarti tuhannya semua agama. Namun
tuhannnya umat Islam, yaitu Allah SWT.
Hal itu lantaran secara tegas
Pembukaan UUD 45 menyebutkan lafadz Allah SWT. Dan hal itu tidak boleh
ditafsirkan menjadi segala macam Tuhan, bukan asal Tuhan dan bukan tuhan-tuhan
buat agama lain. Tuhan Yang Maha Esa di pasal 29 ayat 1 itu harus dipahami oleh
rakyat Indonesia sebagai Allah SWT, bukan Yesus, bukan Bunda Maria, bukan
Sidharta Gautama, bukan dewa atau pun tuhan-tuhan dalam nama yang lain.
Terlepas apakah nanti ada ahli
hukum tata negara yang bisa membantah pemikiran Eggi Sujana itu, yang pasti
Abdul Muqsith tidak bisa menjawabnya. Dan pandangan bahwa negara kita ini bukan
negara Islam serta tidak berdasarkan Quran dan Sunah, secara jujur harus kita
akui harus dikoreksi kembali.
Sebab jika kita lihat latar
belakang semangat dan juga sejarah terbentuknya UUD 45 oleh para pendiri negeri
ini, nuansa Islam sangat kental. Bahkan ada opsi yang cukup lama untuk
menjadikan negara Indonesia ini sebagai negara Islam yang formal.
Bahkan awalnya, sila pertama dari
Pancasila itu masih ada tambahan 7 kata, yaitu: dengan menjalankan syariat
Islam bagi para pemeluknya.
Namun lewat tipu muslihat dan
kebohongan para penguasa, dan tentunya melewati perdebatan yang sangat panjang,
7 kata itu harus dihapuskan. Sekedar memperhatikan kepentingan kalangan Kristen
yang merasa keberatan dan main ancam mau memisahkan diri dari NKRI.
Padahal 7 kata itu sama sekali
tidak mengusik kepentingan agama dan ibadah mereka. Toh Indonesia ini memang
mayoritas muslim, namun betapa lucunya tingkah mereka, tatkala pihak mayoritas
mau menetapkan hukum di dalam lingkungan mereka sendiri lewat Pancasila, kok
bisa-bisanya orang-orang di luar agama Islam pakai acara protes segala. Padahal
apa urusannya mereka dengan 7 kata itu.
Jika dipikir lebih mendalam,
betapa tidak etisnya kalangan Kristen saat awal kita mendirikan negara, di mana
mereka sudah ikut campur urusan agama lain, yang mayoritas pula. Sampai mereka
berani nekat mau memisahkan diri sambil berdusta bahwa Indonesia bagian timur
akan segera memisahkan diri kalau 7 kata itu tidak dihapus.
Akhirnya dengan legowo para ulama
dan pendiri negara ini menghapus 7 kata itu, demi persatuan dan kesatuan. Tapi
apa lacur, air susu dibalas air tuba. Alih-alih bisa duduk rukun dan akur,
kalangan Ekstrem Kristen yang didukung kalangan sekuler itu tidak pernah
berhenti ingin menyingkirkan Islam dari negara ini.
Dan semangat penyingkiran Islam
dari negara semakin menjadi-jadi dengan adanya penekanan asas tunggal di zaman
Soeharto. Semua ormas apalagi orsospol wajib berasas Pancasila.
Sesuatu yang di dalam UUD 45 tidak
pernah disebut-sebut. Malah yang disebut justru negara ini berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan Tuhan yang dimaksud itu adalah Allah SWT sesuai
dengan yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 45.
Jadi sangat tepat jika kalangan
sekuler harus sibuk membuka-buka kembali literatur untuk cari-cari argumen yang
sekiranya bisa membuat Islam jauh dari negara ini.
Namanya perjuangan, pasti mereka
akan terus mencari dan mencari argumen-argumen yang sekiranya bisa dijadikan
bahan untuk dijadikan alibi untuk menjauhkan Islam dari negara. Sebab mereka
memang sangat alergi dengan Islam. Seolah-olah ajaran Islam itu harus
diberantas, atau merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai.
Kita harus mengakui bahwa kalangan
sekuler anti Islam itu di negeri ini sangat banyak. Dalam kepala mereka,
mungkin lebih baik negara ini menjadi komunis dari pada jadi negara Islam.
Wallahu A’lam.
Oleh: Ahmad Sarwat, Lc
Sumber: kabarmakkah.com